Studi sejarah jawa kuno scara tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804, dengan ditemukannya prasasti Sukabumi yang berbunyi : “ Pada tahun 726 penanggalan Caka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas Paro terang, pada hari Haryang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, wage atay hari keempat dalam minggu berhari lima, saniscacara atau hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh” (Zoetmulder, 1985: 3). Keterangan ini amat berharga berkaitan dengan validitas sumber penulisan historiografi lokalpada khususnya, sejarah nasional pada umumnya.
Satu hal yang cukup mengagumkan, bahwa pada zaman jawa kuno dahulu kala pendidikan humaniora mendapat tempat utama. Soal – soal kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas professional terbatas saja. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh umum, lebih – lebih kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat (Zoetmulder, 1985: 179). Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahasa, sastra, sejarah, antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan tata Negara telah memberi inspirasi pra pejabat kerajaan untuk mendirikan, mengembangkan, dan membantu proses pendidikan pada saat itu yang berwujud padepokan dan peguron.
Pertumbuhan kesusasteraan jawa sudah dikenal secara luas dan selang waktu yang cukup lama. Karya sastra yang paling tua adalah Serat Candakarana yang dibuat pada masa dinasti Syailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Caka dan telah berhasil membangun monument megah berupa candi kalasan. Serat Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi (Poerbatjaraka, 1957: 1-2). Kemudian ditemukan pula sebuah prasasti peninggalan raja Balitung pada tahun 907 yang menceritakan kisah Bhima Kumara dan Ramayana. Dalam beberapa text kuno itu juga disebutkan seseorang dalang beserta upah yang diterimanya (Zoetmulder, 1985: 262). Profesionalitas seniman dipacu oleh penghargaan material yang layak demi produktivitas dan kreativitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar